Belakangan ini sob, terjadi kontroversi mengenai acara tahlilan yang oleh sebagian orang ga jelas dianggap Bid'ah. Padahal kegiatan tersebut sudah sejak lama banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya oleh masyarakat Nahdliyin. Simak penjelasan mengenai jawaban konstroversi acara tahlilah berikut yang bersumber dari Situs Resmi Nahdlatul Ulama ( NU Online )
Membicarakan tahlil sama saja membicarakan ketidaksepahaman
antara orang NU dan orang-orang yang tidak setuju dengan acara tahlilan. Ada
sebagian orang menganggap acara tahlilan itu sesat dan bahkan haram menurut
mereka. Tentu mereka memiliki alasan tersendiri menurut apa yang mereka
pelajari dan mereka pahami dalam persoalan agama dan tradisi. Tanpa dalil tentu
mereka tidak akan berani mengharamkan bahkan mengkafirkan pelakunya
(Nahdliyyin) sebagai subjek dari acara tahlilan itu.
Kelompok yang anti tahlil kerap menuduh tahlil sebagai
bid’ah karena sebagai warisan tradisi agama pra-Islam di Jawa, yaitu Budha dan
Hindu, sehingga praktek tahlil hukumnya haram dilakukan karena menyerupai
dengan tradisi agama lain. Tuduhan ini dilakukan sebagaimana ketika mereka
mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad Saw. karena menyerupai perayaan
kelahiran dalam agama lain, yaitu perayaan Natal (Kristen) (Hal. 15).
Pandangan yang serba membuat kesamaan antara tradisi Islam
dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika bukan orang Islam yang melakukan
pertama kali, berarti itu bid’ah sesat, haram, bahkan kafir jika dilakukan oleh
orang Islam. Perlu juga diingat bahwa budaya sarungan itu bukan budaya Islam.
Pada masa nabi Muhammad Sawa. tidak ada. Budaya sarungan umat Islam yang cuma
di Indonesia. Itu pun juga berangkat dari budaya agama Hindu yang ada di
Indonesia. Anggap saja orang Madura yang kentara dengan budaya sarungnya, dan
lihat agama nenek moyang orang Madura sebelum Islam datang, tak lain mayoritas
menganut Hindu.
Begitu pula dengan budaya celana yang sudah banyak
digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya memakai celana di
kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut dengan suatu dalil dan alasan
bahwa orang yang menyerupai suatu, maka mereka merupakan bagian dari mereka.
Karena dianggap menyerupai dengan orang Belanda atau Jepang yang beragama
non-Islam, maka memakai celana diharamkan. Itu semua merupakan buah dari
fanatisme dalam beragama yang mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri. Baru
ketika mereka sadar bahwa memakai celan itu penting, pengharaman lambat laun
menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.
Diakui atau tidak, latar belakang tahlil itu memang awalnya
merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama non-Islam sebelum Islam
masuk ke Nusantara ini. Namun karena di satu sisi nabi Muhammad Saw. khususnya
Islam sendiri yang memiliki sifat menghargai (toleran), maka ekspansi Islam
tidak dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah menjadi tradisi
masyarakat non-Islam sebelumnya (Hal.10). Namun, upaya ekspansi Islam ini
dengan fleksibelitasnya mampu mengislamkan orang Nusantara ini dengan mudah dan
tanpa kekerasan apapun. Tentunya kelenturan dan cara beradaptasi baik yang
dijadikan senjata ampuh oleh penyebar Islam tempo dulu.
Secara historis, keberadaan tahlil adalah salah satu wujud
keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pr-Islam.
Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada orang meninggal dunia adalah berkumpul
di rumah duka pada malam hari untuk berjudi, mabuk-mabukan dan sebagainya.
Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai menyentuh mereka, acara tersebut
diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang
yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum. Dari sini
kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang
diamalkan oleh masyarakat saat ini (Hal. v).
Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan oleh masyarakat
non-Islam dulu itu tidak dirusak dan tidak disuruh bubar begitu saja oleh
penyebar agama Islam dahulu. Jika sebaliknya yang terjadi, maka entah seperti
apa lagi Islam di mata masyarakat non-Islam dahulu hingga sekarang. Maka dari
itu, masyarakat non-Islam yang berkumpul ketika ada acara kematian itu diubah
melalui pendekatan pengaplikasian dengan nilai-nilai keislaman sebagai dakwah
yang paling jitu dan tidak harus merusak yang sudah ada. Hingga akhirnya acara
itu bernilai sebagaimana yang diamanatkan oleh syariat Islam.
Buku Tahlil Bid’ah Hasanah ini tak lain merupakan rasionalisasi
dan penalaran dengan menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan al-Hadits
mengenai acara tahlilan yang sering diharamkan oleh kalangan non-Nahdliyyin.
Pemantapan pemahaman mengenai tradisi, kedamaian, dan eksistensi Islam itu
sendiri disuguhi dengan beraneka dalil yang cukup jelas. Bagi mereka yang
mengerti metode penyebaran Islam, silakan melihat sejarah tentang penyebaran
Islam dan bagaimana Islam ketika itu. Tentunya dengan sifatnya yang fleksibel
Islam mampu masuk ke Indonesia. Dengan fleksibelitasnya pula penyebaran Islam
di Nusantara ini tidak harus banyak menumpahkan darah seperti.
Judul : Tahlil Bid'ah Hasanah Berlandaskan Al-Qur’an dan
Sunnah
Penulis : Muhammad Ma’ruf Khozin
Penerbit : Muara Progresif
Cetakan : I, Juli 2013
Tebal : xviii + 190 hlm. 12 x 17.5 cm
ISBN : 978-602-17206-6-0
Peresensi : Junaidi Khab, santri Pesantren Al-in’am
Pajagungan Banjar Timur Gapura Sumenep Madura.